Masih ingatkah kalian dengan rumor terjadinya kiamat pada tanggal 22
Desember 2012 silam? Atau tidak sedikit dari kita yang begitu mengkhawatirkan
akhir dari penanggalan suku Maya yang kisahnya bahkan menjadi spektakuler
setelah diangkat dalam sebuah film fiksi dengan judul “2012”. Jika disimpulkan
semuanya berasal dari satu sumber yaitu “MATAHARI”
Ya, Matahari sesungguhnya adalah sebuah
bintang, tidak jauh berbeda dengan bintang-bintang lain yang kelihatan di
langit malam. Yang membedakannya dari bintang-bintang lainnya adalah jaraknya
dari bumi. Bintang di langit berjarak jutaan, bahkan miliaran kali jarak Matahari
ke bumi, sehingga cahaya bintang yang sampai di bumi sudah lemah sekali. Jarak
antara Matahari dan bumi adalah sekitar 150 juta kilometer. Karena begitu
dekatnya, pancaran radiasi Matahari sangat terasa di bumi. Pancaran inilah yang
menjadi sumber kehidupan di bumi.
Ditinjau
dari sudut fisika bintang, Matahari tidak terlalu banyak memiliki
aspek yang menarik perhatian seorang ahli astronomi penghuni sebuah tata surya
lain. Meskipun demikian, Matahari tetap penting bagi para ahli
fisika bintang di bumi, karena dengan mempelajari Matahari
mereka mendapat kesempatan untuk mempelajari bintang lebih dekat. Itulah
sebabnya Matahari sering disebut sebagai Batu Rosetta
dalam istilah astronomi. Batu Rosetta adalah batu prasasti yang digunakan
Champolleon, seorang arkeolog Perancis, untuk memecahkan tulisan hieroglif
milik bangsa Mesir kuno.
Aktifitas magnetik yang terjadi pada matahari yang membuat matahari itu
sendiri tetap “hidup” atau mampu
menciptakan energinya sendiri. Matahari sebagai pusat sistem tata surya kita
memiliki suhu 14 juta kelvin pada inti pusatnya. Di dalam inti Matahari juga
memiliki tekanan 100 miliar kali lebih besar dengan tekanan atmosfer Bumi.
Untuk dapat menyinari seluruh planet dalam tata surya, Matahari membutuhkan
reaksi fusi termonuklir yang terjadi pada inti pusatnya. Energi hasil reaksi
fusi tersebut dialirkan ke permukaan dan membuat medan magnet sangat kuat di
permukaan Matahari yang disebut bintik Matahari (SunSpot). Dilanjutkan
dengan prominence (lidah api matahari), lalu flare (letupan), yang mampu
menimbulkan bow shock (angin matahari). Jika aktifitas tersebut membesar
(sesuai dengan siklus 4 tahunan yang terjadi pada matahari), maka akan terjadi
coronal mass ejection/CME (badai matahari). Badai matahari itu sendiri yang
banyak dikhawatirkan oleh umat manusia apabila arahnya tepat mengarah ke bumi
akan terjadi malapetaka besar seperti yang pernah terjadi di Quebec (Kanada)
pada tahun 1988 atau pada tahun 2004 yang mengarah ke Indonesia. Badai matahari
ini yang diprediksi mampu memusnahkan kehidupan di Bumi.
Bintik matahari ini membuat letupan-letupan di permukaan yang terlihat
seperti lidah api yang menjilat-jilat. Letupan yang merupakan gaya tarik
menarik dari medan magnet ini memiliki kekuatan arus yang sangat besar. Ketika
medan magnet tak mampu menahan letupan, maka saat itulah letupan terlepas dan
memuntahkan miliaran gas plasma. Gas plasma yang terlepas inilah yang disebut
badai matahari .
Badai Matahari
Kecepatan badai matahari ini bisa mencapai delapan juta kilometer per
jam. Hanya dalam waktu enam dan dua belas jam, badai matahari sudah mencapai
planet Merkurius dan Venus. Saat menerpa Merkurius dan Venus, badai matahari
menerjang permukaan planet secara langsung hingga menyebabkan peningkatan suhu
planet yang sangat tinggi.
Bumi dikabarkan menerima serangan badai matahari pada Selasa (20/8/2013).
Instrumen
SOHO LASCO C2 menangkap sebuah gambar dari coronal
mass ejection(CME)
yang bergerak menuju Bumi. Instrumen yang digunakan untuk memantau aktivitas
matahari itu berhasil menangkap gambar dengan cara menutup cahaya yang datang
langsung dari matahari dengan 'disk occulter'.
Dilansir Nbcnews, Rabu
(21/8/2013), Matahari melepaskan badai kuat pada Selasa (20/8/2013),
mengirimkan partikel awan besar super panas yang melesat ke arah Bumi. Letusah
matahari ini dikenal sebagai CME, yang tepatnya terjadi pada 04:24 a.m. EDT.
Badai matahari ini mengeluarkan miliaran ton partikel matahari yang meluncur ke
Bumi di kecepatan 2 juta mph (3,3 juta kilometer per jam). "Model
penelitian percobaan NASA berdasarkan pada NASA's Solar Terrestrial Relations
Observatory menunjukkan bahwa CME meninggalkan matahari di kecepatan 570 mil
per detik," kata pejabat badan antariksa Amerika Serikat, NASA.
Kecepatan tinggi tersebut dinilai normal untuk kecepatan melesatnya CME.
Pesawat luar angkasa Stereo dan Solar and Heliospheric Observatory milik NASA
serta European Space Agency mengabadikan foto badai matahari tersebut dari luar
angkasa. Partikel matahari ini kabarnya bisa mencapai Bumi dalam waktu
dua atau tiga hari. Dampak yang bisa muncul dari fenomena CME yang mengenai
Bumi ini antara lain, memicu gangguan pada radio komunikasi, sinyal GPS dan
jaringan listrik.
Badai matahari sebenarnya tidaklah mengerikan. Justru sebaliknya, dialah
yang menyebabkan keindahan langit berupa cahaya yang disebut Aurora Borealis
terlihat di sebagian belahan Bumi. Tim peneliti dari Fakultas Fisika
Universitas Oslo, Norwegia, membuat penjelasan tentang bagaimana proses
terciptanya cahaya indah di langit Bumi ini. Saat
badai matahari mencapai Bumi, ada sebuah perisai tak terlihat yang melindungi
Bumi beserta manusia dari serangan badai panas tersebut. Bumi dilindungi oleh
medan magnet yang bersumber dari kutub utara dan selatan Bumi.
Gambar Aurora di Oulu, Finlandia (24/8/2013)
Gas plasma yang membawa medan magnet matahari menyatu dengan medan
magnet Bumi dan kemudian dipantulkan. Akibat menyatunya medan magnet matahari
dengan Bumi ini menghasilkan cahaya yang berkumpul pada kutub utara dan selatan
Bumi. Maka terjadilah Aurora Borealis yang dapat dilihat di bagian Bumi belahan
utara dan selatan.
Dilansir Nbcnews, Sabtu (24/8/2013), fenomena yang menampakkan
garis-garis cahaya berwarna di langit ini akan dapat disaksikan pekan ini.
"Bersiaplah para penyaksi aurora," kata NOAA dalam posting-an di halaman Facebook. Kabarnya, aurora
ini terlihat pada Jumat atau Sabtu, pekan ini di wilayah Bumi bagian utara.
Seperti diketahui, dua badai matahari mengirimkan partikel bermuatan ke luar
angkasa. Partikel tersebut juga mengarah ke Bumi dan kabarnya bisa mempengaruhi
medan magnet Bumi selama beberapa hari ke depan.
Untuk bisa menyaksikan aurora secara maksimal, selain wilayah geografis
yang dekat dengan belahan Bumi utara, seorang pengamat langit juga disarankan
berada di daratan yang tinggi. Fotografer Thomas Kast mengungkap kepada
SpaceWeather.com bahwa dirinya telah melihat aurora di Oulu, Finlandia.
Fotografer Goran Strand bahkan mengabadikan fenomena menakjubkan
tersebut di Swedia bagian utara. "Aurora ini jauh lebih nyata dan lebih
berwarna, dengan banyak ungu di dalamnya. Cahaya bulan yang kuat juga
menambahkan pemandangan yang sangat berharga sepanjang malam," ungkap
Goran.
Penulis: Muhammad Yosief Fu'adi, S.Si.