Pengalaman Adalah Guru Yang Terbaik, dan Guru Adalah Pengalaman Yang Terbaik

Minggu, 31 Juli 2011

Bersandar Hanya Pada Allah

Tiada keberuntungan yang sangat besar dalam hidup ini, kecuali orang yang tidak memiliki sandaran, selain bersandar kepada Allah. Dengan meyakini bahwa memang Allah-lah yang menguasai segala-galanya; mutlak, tidak ada satu celah pun yang luput dari kekuasaan Allah, tidak ada satu noktah sekecil apapun yang luput dari genggaman Allah. Total, sempurna, segala-galanya Allah yang membuat, Allah yang mengurus, Allah yang menguasai.

Adapun kita, manusia, diberi kebebasan untuk memilih, "Faalhamaha fujuraha wataqwaaha", "Dan sudah diilhamkan di hati manusia untuk memilih mana kebaikan dan mana keburukan". Potensi baik dan potensi buruk telah diberikan, kita tinggal memilih mana yang akan kita kembangkan dalam hidup ini. Oleh karena itu, jangan salahkan siapapun andaikata kita termasuk berkelakuan buruk dan terpuruk, kecuali dirinyalah yang memilih menjadi buruk, naudzubillah.

Sedangkan keberuntungan bagi orang-orang yang bersandarnya kepada Allah mengakibatkan dunia ini, atau siapapun, terlampau kecil untuk menjadi sandaran baginya. Sebab, seseorang yang bersandar pada sebuah tiang akan sangat takut tiangnya diambil, karena dia akan terguling, akan terjatuh. Bersandar kepada sebuah kursi, takut kursinya diambil. Begitulah orang-orang yang panik dalam kehidupan ini karena dia bersandar kepada kedudukannya, bersandar kepada hartanya, bersandar kepada penghasilannya, bersandar kepada kekuatan fisiknya, bersandar kepada depositonya, atau sandaran-sandaran yang lainnya.

Padahal, semua yang kita sandari sangat mudah bagi Allah (mengatakan ‘
sangat mudah’ juga ini terlalu kurang etis), atau akan ‘sangat mudah sekali’ bagi Allah mengambil apa saja yang kita sandari. Namun, andaikata kita hanya bersandar kepada Allah yang menguasai setiap kejadian, "laa khaufun alaihim walahum yahjanun’, kita tidak pernah akan panik, Insya Allah.

Jabatan diambil, tak masalah, karena jaminan dari Allah tidak tergantung jabatan, kedudukan di kantor, di kampus, tapi kedudukan itu malah memperbudak diri kita, bahkan tidak jarang menjerumuskan dan menghinakan kita. kita lihat banyak orang terpuruk hina karena jabatannya. Maka, kalau kita bergantung pada kedudukan atau jabatan, kita akan takut kehilangannya. Akibatnya, kita akan berusaha mati-matian untuk mengamankannya dan terkadang sikap kita jadi jauh dari kearifan.

Tapi bagi orang yang bersandar kepada Allah dengan ikhlas, ‘ya silahkan ... Buat apa bagi saya jabatan, kalau jabatan itu tidak mendekatkan kepada Allah, tidak membuat saya terhormat dalam pandangan Allah?’ tidak apa-apa jabatan kita kecil dalam pandangan manusia, tapi besar dalam pandangan Allah karena kita dapat mempertanggungjawabkannya. Tidak apa-apa kita tidak mendapatkan pujian, penghormatan dari makhluk, tapi mendapat penghormatan yang besar dari Allah SWT. Percayalah walaupun kita punya gaji 10 juta, tidak sulit bagi Allah sehingga kita punya kebutuhan 12 juta. Kita punya gaji 15 juta, tapi oleh Allah diberi penyakit seharga 16 juta, sudah tekor itu.

Oleh karena itu, jangan bersandar kepada gaji atau pula bersandar kepada tabungan. Punya tabungan uang, mudah bagi Allah untuk mengambilnya. Cukup saja dibuat urusan sehingga kita harus mengganti dan lebih besar dari tabungan kita. Demi Allah, tidak ada yang harus kita gantungi selain hanya Allah saja. Punya bapak seorang pejabat, punya kekuasaan, mudah bagi Allah untuk memberikan penyakit yang membuat bapak kita tidak bisa melakukan apapun, sehingga jabatannya harus segera digantikan.

Punya suami gagah perkasa. Begitu kokohnya, lalu kita merasa aman dengan bersandar kepadanya, apa sulitnya bagi Allah membuat sang suami muntaber, akan sangat sulit berkelahi atau beladiri dalam keadaan muntaber. Atau Allah mengirimkan nyamuk Aides Aigepty betina, lalu menggigitnya sehingga terjangkit demam berdarah, maka lemahlah dirinya. Jangankan untuk membela orang lain, membela dirinya sendiri juga sudah sulit, walaupun ia seorang jago beladiri karate.

Otak cerdas, tidak layak membuat kita bergantung pada otak kita. Cukup dengan kepleset menginjak kulit pisang kemudian terjatuh dengan kepala bagian belakang membentur tembok, bisa geger otak, koma, bahkan mati.

Semakin kita bergantung pada sesuatu, semakin diperbudak. Oleh karena itu, para istri jangan terlalu bergantung pada suami. Karena suami bukanlah pemberi rizki, suami hanya salah satu jalan rizki dari Allah, suami setiap saat bisa tidak berdaya. Suami pergi ke kanotr, maka hendaknya istri menitipkannya kepada Allah.

"Wahai Allah, Engkaulah penguasa suami saya. Titip matanya agar terkendali, titip hartanya andai ada jatah rizki yang halal berkah bagi kami, tuntun supaya ia bisa ikhtiar di jalan-Mu, hingga berjumpa dengan keadaan jatah rizkinya yang barokah, tapi kalau tidak ada jatah rizkinya, tolong diadakan ya Allah, karena Engkaulah yang Maha Pembuka dan Penutup rizki, jadikan pekerjaannya menjadi amal shaleh."

Insya Allah suami pergei bekerja di back up oleh do’a sang istri, subhanallah. Sebuah keluarga yang sungguh-sungguh menyandarkan dirinya hanya kepada Allah. "Wamayatawakkalalallah fahuwa hasbu", (QS. At Thalaq [65] : 3). Yang hatinya bulat tanpa ada celah, tanpa ada retak, tanpa ada lubang sedikit pun ; Bulat, total, penuh, hatinya hanya kepada Allah, maka bakal dicukupi segala kebutuhannya. Allah Maha Pencemburu pada hambanya yang bergantung kepada makhluk, apalagi bergantung pada benda-benda mati. Mana mungkin? Sedangkan setiap makhluk ada dalam kekuasaan Allah. "Innallaaha ala kulli sai in kadir".

Oleh karena itu, harus bagi kita untuk terus menerus meminimalkan penggantungan. Karena makin banyak bergantung, siap-siap saja makin banyak kecewa. Sebab yang kita gantungi, "Lahaula wala quwata illa billaah" (tiada daya dan kekuatan yang dimilikinya kecuali atas kehendak Allah). Maka, sudah seharusnya hanya kepada Allah sajalah kita menggantungkan, kita menyandarkan segala sesuatu, dan sekali-kali tidak kepada yang lain, Insya Allah.

Disadur dari Tauziyah Aa' Gym

Sabtu, 30 Juli 2011

LUPAKAN JASA DAN KEBAIKAN DIRI


Semakin kita sering menganggap diri penuh jasa dan penuh kebaikan pada orang lain, apalagi menginginkan orang lain tahu akan jasa dan kebaikan diri kita, lalu berharap agar orang lain menghargai, memuji, dan membalasnya maka semua ini berarti kita sedang membangun penjara untuk diri sendiri dan sedang mempersiapkan diri mengarungi samudera kekecewaan dan sakit hati.

Ketahuilah bahwa semakin banyak kita berharap sesuatu dari selain Allah SWT, maka semakin banyak kita akan mengalami kekecewaan. Karena, tiada sesuatu apapun yang dapat terjadi tanpa ijin Allah. Sesudah mati-matian berharap dihargai makhluk dan Allah tidak menggerakkan orang untuk menghargai, maka hati ini akan terluka dan terkecewakan karena kita terlalu banyak berharap kepada makhluk. Belum lagi kerugian di akhirat karena amal yang dilakukan berarti tidak tulus dan tidak ikhlas, yaitu beramal bukan karena Allah.

Selayaknya kita menyadari bahwa yang namanya jasa atau kebaikan kita terhadap orang lain, sesungguhnya bukanlah kita berjasa melainkan Allah-lah yang berbuat, dan kita dipilih menjadi jalan kebaikan Allah itu berwujud. Sesungguhnya terpilih menjadi jalan saja sudah lebih dari cukup karena andaikata Allah menghendaki kebaikan itu terwujud melalui orang lain maka kita tidak akan mendapat ganjarannya.

Jadi, ketika ada seseorang yang sakit, lalu sembuh berkat usaha seorang dokter. Maka, sebetulnya bukan dokter yang menyembuhkan pasien tersebut, melainkan Allah-lah yang menyembuhkan, dan sang dokter dipilih menjadi jalan. Seharusnya dokter sangat berterima kasih kepada sang pasien karena selain telah menjadi ladang pahala untuk mengamalkan ilmunya, juga telah menjadi jalan rizki dari Allah baginya. Namun, andaikata sang dokter menjadi merasa hebat karena jasanya, serta sangat menuntut penghormatan dan balas jasa yang berlebihan maka selain memperlihatkan kebodohan dan kekurangan imannya juga semakin tampak rendah mutu kepribadiannya (seperti yang kita maklumi orang yang tulus dan rendah hati selalu bernilai tinggi dan penuh pesona). Selain itu, di akhirat nanti niscaya akan termasuk orang yang merugi karena tidak memperoleh pahala ganjaran.

Juga, tidak selayaknya seorang ibu menceritakan jasanya mulai dari mengandung, melahirkan, mendidik, membiayai, dan lain-lain semata-mata untuk membuat sang anak merasa berhutang budi. Apalagi jika dilakukan secara emosional dan proporsional kepada anak-anaknya, karena hal tersebut tidak menolong mengangkat wibawa sang ibu bahkan bisa jadi yang terjadi adalah sebaliknya. Karena sesungguhnya sang anak sama sekali tidak memesan untuk dilahirkan oleh ibu, juga semua yang ibunya lakukan itu adalah sudah menjadi kewajiban seorang ibu.

Percayalah bahwa kemuliaan dan kehormatan serta kewibawaan seorang ibu/bapak justru akan bersinar-sinar seiring dengan ketulusan ibu menjalani tugas ini dengan baik, Insya Allah. Allah-lah yang akan menghujamkan rasa cinta di hati anak-anak dan menuntunnya untuk sanggup berbalas budi.

Seorang guru juga harus bisa menahan diri dari ujub dan merasa berjasa kepada murid-muridnya. Karena memang kewajiban guru untuk mengajar dengan baik dan tulus. Dan memang itulah rizki bagi seseorang yang ditakdirkan menjadi guru. Karena setiap kebaikan yang dilakukan muridnya berkah dari tuntunan sang guru akan menjadi ganjaran tiada terputus dan dapat menjadi bekal penting untuk akhirat. Kita boleh bercerita tentang suka duka dan keutamaan mengajar dengan niat bersyukur bukan ujub dan takabur.

Perlu lebih hati-hati menjaga lintasan hati dan lebih menahan diri andaikata ada salah seorang murid kita yang sukses, jadi orang besar. Biasanya akan sangat gatal untuk mengumumkan kepada siapapun tentang jasanya sebagai gurunya plus kadang dengan bumbu penyedap cerita yang kalau tidak pada tempatnya akan menggelincirkan diri dalam riya dan dosa.

Andaikata ada sebuah mobil yang mogok lalu kita membantu mendorongnya sehingga mesinnya hidup dan bisa jalan dengan baik. Namun ternyata sang supir sama sekali tidak berterima kasih. Jangankan membalas jasa, bahkan menengok ke arah kita pun tidak sama sekali.. andaikata kita merasa kecewa dan dirugikan lalu dilanjutkan dengan acara menggerutu, menyumpahi, lalu menyesali diri plus memaki sang supir. Maka lengkaplah kerugiannya lahir maupun batin. Dan tentu saja amal pun jadi tidak berpahala dalam pandangan Allah karena tidak ikhlas, yaitu hanya berharap balasan dari makhluk.

Seharusnya yang kita yakini sebagai rizki dan keberuntungan kita adalah takdir diri ini diijinkan Allah bisa mendorong mobil. Silahkan bayangkan andaikata ada mobil yang mogok dan kita tidak mengetahuinya atau kita sedang sakit tidak berdaya, niscaya kita tidak mendapat kesempatan beramal dengan mendorong mobil. Atau diri ini sedang sehat perkasa tapi mobil tidak ada yang mogok, lalu kita akan mendorong apa?

Takdir mendorong mobil adalah investasi besar, yakni kalau dilaksanakan penuh dengan ketulusan niscaya Allah yang Maha Melihat akan membalasnya dengan balasan yang mengesankan. Bukankah kita tidak tahu kapan kita akan mendapatkan kesulitan di perjalanan, maka takdir beramal adalah investasi.

Mari kita bersungguh-sungguh untuk terus berbuat amal kebajikan sebanyak mungkin dan sesegera mungkin. Setelah itu mari kita lupakan seakan kita tidak pernah melakukannya, cukuplah Allah yang Maha Melihat saja yang mengetahuinya. Allah SWT pasti menyaksikannya dengan sempurna dan membalasnya dengan balasan yang sangat tepat baik waktu, bentuk, ataupun momentumnya. Salah satu ciri orang yang ikhlas menurut Imam Ali adalah senang menyembunyikan amalannya bagai menyembunyikan aib-aibnya.

Selamat berbahagia bagi siapapun yang paling gemar beramal dan paling cepat melupakan jasa dan kebaikan dirinya, percayalah hidup ini akan jauh lebih nikmat, lebih ringan, dan lebih indah. Insya Allah.

Sabtu, 23 Juli 2011

LIMA TIPE KARYAWAN DI KANTOR KITA

Pengklasifikasian karyawan dan pejabat kantor ini didekati dengan istilah hukum yang digunakan dalam agama Islam. Pendekatan ini sama sekali bukan untuk mencampuradukkan atau merendahkan nilai istilah hukum tersebut, melainkan hanya sekedar guna mempermudah pemahaman kita karena makna dari istilah hukum tersebut sangat sederhana dan akrab bagi kita. Mudah-mudahan bisa jadi cara yang praktis untuk mengukur dan menilai diri sendiri.

(Ide dasar ini diambil dari pendapat Emha Ainun Najib)

1.    Karyawan/Pejabat "Wajib"

Tipe karyawan atau pejabat wajib ini memiliki ciri : keberadaannya sangat disukai, dibutuhkan, harus ada sehingga ketiadaannya sangat dirasakan kehilangan.Adapun cirri-cirinya:

Ø   Dia sangat disukai karena pribadinya sangat mengesankan, wajahnya yang selalu bersih, cerah dengan senyum tulus yang dapat membahagiakan siapapun yang berjumpa dengannya.
Ø   Tutur katanya yang sopan tak pernah melukai siapapun yang mendengarnya, bahkan pembicaraannya sangat bijak, menjadi penyejuk bagi hati yang gersang, penuntun bagi yang tersesat, perintahnya tak dirasakan sebagai suruhan, orang merasa terhormat dan bahagia untuk memenuhi harapannya tanpa rasa tertekan.
Ø   Akhlaknya sangat mulia, membuat setiap orang merasakan bahagia dan senang dengan kehadirannya, dia sangat menghargai hak-hak dan pendapat orang lain, setiap orang akan merasa aman dan nyaman serta mendapat manfaat dengan keberadaannya

2.    Karyawan / Pejabat "Sunnah"

Ciri dari karyawan/pejabat tipe ini adalah : kehadiran dan keberadaannya memang menyenangkan, tapi ketiadaannya tidak terasa kehilangan.

Kelompok ini hampir mirip dengan sebagian yang telah diuraikan, berprestasi, etos kerjanya baik, pribadinya menyenangkan hanya saja ketika tiada, lingkungannya tidak merasa kehilangan, kenangannya tidak begitu mendalam.

Andai saja kelompok kedua ini lebih berilmu dan bertekad mempersembahkan yang terbaik dari kehidupannya dengan tulus dan sungguh-sungguh, niscaya dia akan naik peringkatnya ke golongan yang lebih atas, yang lebih utama.

3.    Karyawan / Pejabat "Mubah"

Ciri khas karyawan atau pejabat tipe ini adalah : ada dan tiadanya sama saja. Sungguh menyedihkan memang menjadi manusia mubadzir seperti ini, kehadirannya tak membawa arti apapun baik manfaat maupun mudharat, dan kepergiannya pun tak terasa kehilangan.

Karyawan tipe ini adalah orang yang tidak mempunyai motivasi, asal-asalan saja, asal kerja, asal ada, tidak memikirkan kualitas, prestasi, kemajuan, perbaikan dan hal produktiflainnya. Sehingga kehidupannya pun tidak menarik, datar-datar saja.

Sungguh menyedihkan memang jika hidup yang sekali-kalinya ini tak bermakna. Harus segera dipelajari latar belakang dan penyebabnya, andai kata bisa dimotivasi dengan kursus, pelatihan, rotasi kerja, mudah-mudahan bisa meningkat semangatnya.

4.    Karyawan / Pejabat "Makruh"

Ciri dari karyawan dan pejabat kelompok ini adalah : adanya menimbulkan masalah tiadanya tidak menjadi masalah. Bila dia ada di kantor akan mengganggu kinerja dan suasana walaupun tidak sampai menimbulkan kerugian besar, setidaknya membuat suasana tidak nyaman dan kenyamanan kerja serta kinerja yang baik dapat terwujud bila ia tidak ada.

Misalkan dari penampilan dan kebersihan badannya mengganggu, kalau bicara banyak kesia-siaan, kalau diberi tugas dan pekerjaan selain tidak tuntas, tidak memuaskan juga mengganggu kinerja karyawan lainnya.

5.    Karyawan / Pejabat "Haram"

Ciri khas dari kelompok ini adalah : kehadirannya sangat merugikan dan ketiadaannya sangat diharapkan karena menguntungkan.

Orang tipe ini adalah manusia termalang dan terhina karena sangat dirindukan "ketiadaannya". Tentu saja semua ini adalah karena buah perilakunya sendiri, tiada perbuatan yang tidak kembali kepada dirinya sendiri.

Akhlaknya sangat buruk bagai penyakit kronis yang bisa menjalar. Sering memfinah, mengadu domba, suka membual, tidak amanah, serakah, tamak, sangat tidak disiplin, pekerjaannya tidak pernah jelas ujungnya, bukan menyelesaikan pekerjaan malah sebaliknya menjadi pembuat masalah. Pendek kata di adalah "trouble maker".

Silahkan anda renungkan, kita termasuk kategori yang mana...? Semoga semua ini menjadi bahan renungan agar hidup yang hanya sekali ini kita bisa merubah diri dan mempersembahkan yang terbaik dan yang bermanfaat bagi dunia dan akhirat nanti. Jadilah manusia yang "wajib ada". Semoga!

Jumat, 22 Juli 2011

PENGELOLAAN PROFESI GURU

Pengetahuan adalah abstraksi dari apa yang dapat diketahui dalam jiwa orang yang mengetahuinya. Pada dasarnya pengetahuan tidak bersifat spontan, melainkan harus diajarkan dan dipelajari. Dengan kata lain, pengetahuan harus diusahakan. Awal pengetahuan terjadi karena interaksi antara panca indera dengan alam nyata. Menurut Ikhwan al Shafa, sebelum terjadi interaksi antara panca indera dan alam nyata, di dalam akal tidak terdapat pengetahuan apapun. Guru adalah orang yang bertugas membantu murid untuk mendapatkan pengetahuan sehingga ia mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya.

Menurut M. Jawad Ridla dalam bukunya al Fikr al Tarbawiyyu al Islamiyya Muqadimat fi ushulih al Ijtima’iyyati wa al Aqlaniyyati, guru harus berpegang teguh pada delapan prinsip yang disebut oleh para ahli dan pemerhati pendidikan disebut ”kode etik pengajaran.

Prinsip pertama : Keharusan ilmu harus dibarengi dengan pengamalannya. 

Seorang guru wajib mengamalkan ilmunya. Ia harus menyatukan antara ucapan dan perbuatannya, sebab ilmu itu diketahui dengan mata batin, sedangkan perbuatan itu diketahui dan disaksikan dengan mata lahir.

Al Ghazali mengingatkan para guru berkenaan dengan pengalaman ilmu tersebut sebagaimana ucapannya, ”Waspadalah wahai para guru, jangan sampai kamu itu menjadi orang yang hanya pintar mengajar dan mengingatkan saja, karena ini dapat menimbulkan bencana besar, kecuali kamu bersedia lebih dulu mengamalkan apa yang kamu ucapkan, baru kemudian menasehati orang lain”.

Prinsip kedua : Bersikap kasih sayang terhadap siswa dan memperlakukan mereka seperti putra-putrinya sendiri. 

Sabda Rasulullah SAW, ” Sesungguhnya aku ini bagi kamu seperti seorang ayah bagi putra-putrinya”.

Prinsip ketiga : Menghindarkan diri dari ketamakan.

Seorang guru seyogianya menghindarkan diri dari sifat tamak dan komersialisasi ilmu, dan semestinya guru mempunyai cita-cita yang tinggi dan tidak rakus terhadap kekayaan orang lain.

 Prinsip keempat : Bersikap toleran dan pemaaf. 

Di antara kewajiban guru adalah bersikap lapang dada kepada murid-muridnya, menjaga jangan sampai terjadi keributan apalagi hingga terjadi perkelahian di antara mereka.

Prinsip kelima : Menghargai kebenaran.

Para guru adalah ”penyampai” kebenaran, mereka berkewajiban menghargai kebenaran dan komitmen memegangnya. Mereka juga wajib memiliki etos keilmuan, sehingga dengan senang hati melakukan kajian penelitian untuk senantiasa melakukan perbaikan.

Prinsip keenam : Keadilan dan keinsafan. 

Guru dituntut untuk senantiasa berpegang pada niai-nilai keadilan. Karenanya, seorang guru harus selalu insaf (memiliki kesadaran dan rasa empati) pada saat mengadakan penelitian, melakukan pembicaraan, dan menyampaikan ilmu serta mendengarkan pertanyaan murid.

Prinsip ketujuh : Rendah hati. 

Seorang guru hendaknya meninggalkan sikap keras kepala dan berlagak serba tahu. Guru hendaknya mengedepankan ketulusan dan kejujuran jika menghadapi berbagai persoalan.

Prinsip kedelapan : Ilmu adalah untuk pengabdian kepada orang lain. 

Guru harus menyadari bahwa tujuan utama dari ilmu adalah untuk memberi manfaat pada orang lain. Hubungan guru dengan siswa dapat diibaratkan seperti ukiran tanah liat. Bagaimana mungkin tanah liat akan terukir dengan suatu gambar yang tidak pernah digoreskan di atasnya.

Guru harus dapat menempatkan diri dan menciptakan suasana yang kondusif, karena fungsi guru di sekolah adalah sebagai ”orang tua” kedua yang bertanggung jawab atas pertumbuhan dan perkembangan jiwa anak. Ki Hajar Dewantara telah menggariskan pentingnya peranan guru dalam proses pendidikan dengan ungkapan :

 Ing ngarso sung tuladha berarti di depan memberi teladan atau contoh. 

Sarason dan Bandura dalam bukunya sama-sama menekankan pentingnya modeling  atau keteladanan yang merupakan cara paling ampuh dalam mengubah perilaku inovasi seseorang.

Ing madya mangun karsa berarti di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa. 

Asas ini diperkuat dengan peran dan fungsi guru sebagai mitra setara serta sebagai fasilitator. Asas ini menekankan pentingnya produktifitas dalam pembelajaran. Dengan menerapkan asas ini, guru perlu mendorong keinginan berkarya dalam diri peserta didik sehingga mampu menciptakan suatu karya.

Tut wuri handayani yang artinya di belakang memberikan dorongan dan arahan. 

Hal ini mempunyai makna yang kuat tentang peran dan fungsi guru. Guru perlu berperan sebagai motivator dan juga sebagai pengarah atau pembimbing yang tidak membiarkan peserta didik melakukan hal yang kurang sesuai dengan tujuan pendidikan.

Dengan demikian, kompetensi yang dimiliki oleh setiap guru akan menunjukkan kualitas guru yang sebenarnya. Kompetensi tersebut akan terwujud dalam bentuk penguasaan pengetahuan dari perbuatan secara profesional dalam menjalankan fungsinya sebagai guru.


oleh :

MUHAMMAD YOSIEF FU’ADI, S.Si

IDENTIFIKASI PERMASALAHAN SISWA

mereka mungkin bisa lupa
apa yang Anda katakan
tapi mereka tak akan pernah melupakan
perasaan yang Anda timbulkan
dalam  hati mereka


Proses pembelajaran selain diawali dengan perencanaan yang bijak, serta didukung dengan komunikasi yang baik, juga harus didukung dengan pengembangan strategi yang mampu membelajarkan siswa.

Kedudukan siswa dalam kurikulum berbasis kompetensi merupakan ”produsen”, artinya siswa sendirilah yang mencari tahu ilmu pengetahuan yang dipelajarinya. Siswa dalam suatu kelas biasanya memiliki kemampuan yang beragam: pandai, sedang, bahkan kurang. Karenanya guru harus mampu mengelompokan mereka, kapan mereka dikelompokkan berdasarkan kemampuannya sehingga ia dapat berkonsentrasi membantu yang kurang, dan kapan siswa dikelompokan secara campuran, sehingga terjadi tutor sebaya.

Pengelompokan  siswa tersebut terkadang malah menimbulkan masalah baru bagi guru. Dua masalah kompleks yang kemungkinan timbul adalah masalah individu dan masalah kelompok.

a.       Masalah Individu

Kategori masalah individu dalam pengelolaan siswa menurut Dreikurs dan Cassel didasarkan pada asumsi bahwa tingkah laku manusia itu mempunyai maksud dan tujuan.

Setiap individu memiliki kebutuhan pokok untuk menjadi dan merasa berguna. Jika individu ini merasa putus asa dalam mengembangkan rasa memiliki harga diri melalui nilai yang dapat diterima secara sosial, ia akan berkelakuan buruk.

Ada empat tipe perilaku yang kurang baik, yaitu (1) perilaku untuk menarik perhatian, (2) perilaku untuk mencari kekuasaan, (3) perilaku untuk melampiaskan dendam, dan (4) perilaku yang memperlihatkan ketidakmampuannya.

Siswa yang tidak menaikkan statusnya dengan cara yang dapat diterima oleh lingkungannya, biasanya akan mencari jalan lain, baik melalui tindakan untuk menarik perhatian secara aktif maupun pasif. Bentuk mencari perhatian secara aktif bersifat merusak, misalnya bergaya sok, melawak, mengacau, menjadi anak nakal, anak yang terus-menerus bertanya dan rewel. Bentuk pasif dalam mencari perhatian misalnya pemaksaan atau ingin mendapatkan perhatian orang lain dengan meminta tolong terus-menerus.

Perilaku mencari kekuasaan aktif misalnya membantah, berbohong, pemukul, pemarah, menolak perintah, dan benar-benar tidak mau tunduk. Pencari kekuasaan yang pasif adalah pemalas yang terkadang ditunjukkan dengan sifat pelupa, keras kepala, dan tidak mau patuh.

Murid yang mencari pelampiasan dendam disebabkan putus asa dan bingung, sehingga mencari keberhasilan dengan cara menyakiti orang lain, menyerang secara fisik, bermusuhan dengn teman-temannya. Keaktifan mereka digambarkan sebagai anak yang kejam, sedangkan mereka yang pasif digambarkan sebagai anak yang cemberut dan menantang.
Peragaan ketidakmampuan biasanya ditunjukkan dengan berkelakuan buruk, pesimis dalam mencapai keberhasilan, dan rasa tidak berdaya yang selalu menyertai kelakuannya.

Untuk membedakan keempat tipe di atas, dapat dilakukan  melalui pengamatan terhadap gejala yang muncul. Beberapa teknik untuk mendeteksi adanya gejala-gejala tersebut adalah:
a)                  Jika guru merasa terganggu  oleh tindakan murid, mungkin tujuan murid untuk mencari perhatian;
b)                  Jika guru merasa dikalahkan atau terancam, tujuan murid tersebut mungkin untuk mencari kekuasaan;
c)                  Jika guru merasa sangat tersinggung, tujuannya mungkin untuk mencari pelampiasan dendam; dan
d)                 Jika guru merasa tidak berdaya, tujuan anak mungkin untuk menunjukkan ketidakmampuannya.

b.      Masalah Kelompok

Johnson dan Banny mengidentifikasi tujuh masalah kelompok dalam pengelolaan kelas, yaitu (1) kurangnya kesatuan, (2) ketidaktaatan terhadap standar tindakan dan prosedur kerja, (3) reaksi negatif  terhadap pribadi anggota, (4) pengakuan kelas terhadap tindakan guru, (5) kecenderungan adanya gangguan, kemacetan pekerjaan, dan kelakuan yang dibuat-buat, (6) ketidakmampuan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan, dan (7) semangat juang yang rendah dan adanya sikap bermusuhan.

Pengelolaan siswa merupakan kegiatan atau tindakan guru dalam rangka penyediaan kondisi yang optimal agar proses belajar mengajar berlangsung efektif. Tindakan tersebut dapat berupa tindakan yang bersifat pencegahan dan atau tindakan yang bersifat korektif.

Tindakan yang bersifat pencegahan (preventif) yaitu dengan jalan menyediakan kondisi baik fisik maupun sosio emosional sehingga terasa benar oleh siswa rasa kenyamanan maupun keamanan untuk belajar. Sedangkan tindakan yang korektif merupakan tindakan terhadap tingkah laku yang menyimpang dan merusak kondisi optimal dalam proses belajar mengajar yang sedang bearlangsung. Tindakan korektif harus meliputi tindakan yang seharusnya segera diambil oleh guru pada saat terjadi gangguan (dimensi tindakan) dan penyembuhan (kuratif) terhadap tingkah laku yangg menyimpang dan terlanjur terjadi agar penyimpangan tersebut tidak berlarut-larut.



oleh :

MUHAMMAD YOSIEF FU’ADI, S.Si